Semangat Sumpah Pemuda dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Berbicara mengenai pemuda dan masa depan suatu bangsa ibarat dua sisi mata uang. Ia menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Masa depan suatu bangsa akan terletak bagaimana eksistensi para pemudanya, terutama menyangkut aspek patriotisme dan semangat nasionalismenya. Hampir semua sejarah bangsa-bangsa di dunia lahir dari peran dan kiprah kaum muda, tidak terkecuali sejarah bangsa Indonesia sendiri.
Peringatan hari Sumpah Pemuda Indonesia yang selalu kita laksanakan setiap tanggal 28 Oktober tiap tahunnya, suatu peristiwa bersejarah yang dilakukan oleh para pemuda Indonesia + 85  tahun yang lalu, senantiasa menjadi pelajaran berharga serta memberikan hikmah untuk kita jadikan pedoman pemikiran, pijakan dan sekaligus sebagai pedoman bagi kita, generasi bangsa yang hidup di era kemerdekaan ini untuk mengawal dan meneruskan cita-cita perjuangan mereka.
Momentum Hari Sumpah Pemuda Indonesia tersebut, sebagai peristiwa lahirnya Indonesia sebagai sebuah bangsa. Peristiwa bersejarah itu kemudian menjadi bagian dari tonggak penting sejarah Indonesia karena tujuh belas tahun setelah itu bangsa Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pemuda adalah pemegang peranan penting bagi berlangsungnya kehidupan suatu bangsa. Pemudalah yang menerima tongkat estafet strategis dalam meneruskan perjuangan generasi tua.
Karena itu, dalam setiap masanya, Pemuda selalu menjadi perhatian dan di pundaknyalah harapan besar dipertaruhkan untuk membina zaman yang akan datang. Karena perannya yang sangat strategis tersebut dan menentukan bagi baik dan buruknya kehidupan di masa mendatang.

Kepeloporan Pemuda Indonesia Dalam Bingkai Sejarah Bangsa.

Dalam catatan sejarah kebangsaan dan Keindonesiaan kita,  pemuda Indonesia telah menorehkan tinta EMAS dalam bingkainya yang indah dan lapangan hijau di bumi Indonesia. Dalam sejarah perjuangan bangsa, kepeloporan pemuda selalu tampil sebagai kekuatan penentu. Mereka adalah kelompok intelektual yang karena usia dan tingkat perkembangannya, memiliki idealisme yang tinggi, semangat pengabdian tanpa pamrih, dan rela berkorban demi kepentingan bangsa. Meskipun berasal dari latar belakang sosial, budaya, organisasi, bahkan ideologi yang berbeda, namun karena persamaan nasib sebagai bangsa yang dijajah, pemuda Indonesia berggerak menyatukan diri sebagai satu bangsa dan dalam kesatuan itu mereka berjuang bersama-sama melawan penjajah.
Upaya pembentukan bangsa Indonesia sebagai nation telah dirintis oleh para pemuda pada awal abad ke-20, yaitu menumbuhkan kesadaran Nasional di kalangan rakyat melalui organisasi-organisasi pergerakan nasional. Pergerakan nasional merupakan alternatif baru perjuangan untuk menghapuskan penjajahan setelah cara lama yaitu perjuangan bersenjata dan kedaerah mengalami kegagalan. Ke-vakum-an dalam kepemimpinan perjuangan setelah para raja dan bangsawan berhasil dipaksa oleh Belanda menandatanganikorte verklaring, diisi oleh para pemuda. Sebagai golongan terdidik dan terpelajar, mereka belajar dari sejarah. Kegagalan perjuangan masa lalu memberi pelajaran para mereka, bahwa perlawanan yang terpisah-pisah dan hanya bertumpu pada kharisma pemimpin tidak mungkin berhasil mengalahkan penjajah. Karena itu dicari taktik yang sepadan dengan taktik yang dipakai penjajah. Karena Belanda berhasil menanamkan kekuasaannya dengan taktik pecah-belah, maka untuk melawannya harus dipergunakan taktik persatuan. Untuk itu rasa persatuan perlu ditanamkan dengan menyadarkan rakyat bahwa mereka itu memiliki persamaan nasib sebagai bangsa terjajah. Sebagai wadah, dipergunakan organisasi modern, melalui mana kesadaran sebagai satu bangsa ditanamkan secara berangsur-angsur.
Para pemudalah yang mempelopori bangkitnya pergerakan nasional. Buktinya, organisasi-organisasi yang dapat dikatakan pelopor pergerakan nasional semuanya didirikan oleh pemuda. Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islan (SDI) pada tanggal 16 Oktober 1905 ketika ia baru berusia 27 tahun. Ia lahir pada tahun 1878. Sutomo baru berusia 20 tahun (lahir 30 Juli 1888) ketika mendirikan Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara baru berusia 20 tahun ketika mendirikan Indische Partij pada tahun 1912 bersama-sama Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo.
Tokoh-tokoh lain pun mulai aktif dalam pergerakan nasional pada usia yang masih muda. Muhammad Hatta mulai memimpin Perhimpunan Indonesia ketika usianya baru mencapai 21 tahun. Ketika menghadiri sidang Liga Anti Kolonialisme di Paris, usianya baru 23 tahun. Agus Salim dan Cokroaminoto mulai aktif memimpin Sarekat Islam pada umur 22 tahun. Soekarno tampil sebagai tokoh pergerakan nasional pada umur 22 tahun dan menjadi ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) pada usia 26 tahun. Muhammad Yamin ketika ikut merumuskan Sumpah Pemuda di tahun 1928, umurnya baru 22 tahun. Ia mulai aktif dalam Jong Sumatranen Bond pada usia 19 tahun.
Dari uraian di atas, ingin ditampilkan peranan pemuda dalam sejarah pembentukan bangsa Indonesia sebagai nation. Merekalah yang pertama menemukan konsep persatuan sebagai satu bangsa, pada awal abad ke-20. Peristiwa itu dapat disebut sebagai lahirnya bangsa Indonesia dalam bentuk idea.
Dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, bangsa Indonesia tidak lagi berupa idea, melainkan telah menjelma menjadi konsep, karena telah memiliki batasan yang jelas. Konsep bangsa Indonesia menjadi aktual dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan merupakan saat lahirnya bangsa Indonesia secara aktual, juga karena peranan pemuda yang waktu itu bergabung dalam berbagai kelompok, seperti kelompok pelajar, kelompok Peta, kelompok mahasiswa maupun kelompok pemuda lainnya.
Kepelopran pemuda juga merupakan kekuatan yang menentukan dalam perjuangan mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia, terhadap rongrongan dari luar seperti pada periode Perang Kemerdekaan, dan rongrongan dari dalam seperti G 30 S/PKI tahun 1965.



Belajar Dari Sejarah Pahit  Bangsa Indonesia

Selama 40 tahun (Orde Lama dan Orde Baru), bangsa Indonesia dipimpin secara otoriter. Secara tak langsung, tumbuh dalam diri kita sikap otoriter, yaitu merasa benar dan mau menang sendiri. Ketika Reformasi 1998 membuka ruang kebebasan, demokrasi, dan otonomi daerah, sifat otoriter itu muncul dalam berbagai bentuk.
Demokrasi dan desentralisasi yang terlalu banyak dan terlalu cepat membuat masyarakat mudah saling curiga dan mudah bertikai. Multipartai tumbuh pesat, tetapi politik justru kehilangan ideologi dan idealisme. Perilaku politisi menjadi oportunis sehingga menyuburkan korupsi, sekaligus juga adventuristik (leluasa bertualang) yang membuat orang mudah berpindah partai.
Hampir semua kader partai politik menjadi petualang. Tidak ada bekal ideologi dan nilai-nilai kebangsaan diwariskan. Politik berhenti di politik kekuasaan. Politik sebagai sebuah kebijakan untuk mendistribusikan kesejahteraan tidak dijalankan. Yang dipertontonkan adalah politik tidak etis, yang biasa kita lihat di bincang-bincang televisi. Kebebasan berkembang tanpa komitmen etika, politik hampa etika.
Dalam situasi begini etika individu memang penting ditekankan, tetapi tidak dapat menembus budaya politik yang cenderung koruptif. Pemerintah dan DPR perlu memikirkan perubahan struktur politik.
Pematangan substansi demokrasi justru berhenti. Situasi kian parah karena presiden sebagai pemimpin tertinggi lemah dan serba ragu dalam semua hal sehingga menciptakan ketidakpastian. Kita akhirnya mengalami proses anomi, yaitu kehilangan pegangan terhadap nilai-nilai moralitas. Orang kehilangan batas-batas baik-buruk atau salah-benar. Ini memicu perilaku menyimpang dan konflik di masyarakat.
Ketiadaan kepemimpinan tegas untuk mengatur dan mengelola bangsa yang multikultur memang menjadi salah satu penyebab berbagai persoalan bangsa seperti ini. Peran pemimpin sedemikian penting mengingat bangsa Indonesia lebih bersifat paternalistik. Beragam persoalan sosial itu tidak terlepas dari pengaruh era informasi yang demikian bebas. Tidak ada lagi penjuru yang bisa digunakan untuk menyaring informasi sehingga masyarakat tidak memiliki acuan, mana yang benar dan mana yang tidak.
Kondisi bangsa saat ini terbentuk akibat sistem otoriter lebih dari tiga dekade. Hal itu diperparah oleh ketiadaan kepemimpinan yang memberi arah. Konsolidasi demokrasi juga belum terwujud.

Realitas Bangsa Indonesia Hari Ini

Fenomena sosial bangsa Indonesia saat ini menunjukkan disorientasi nilai yang sangat memprihatinkan. Banyak elite politik korup, aparat penegak hukum korup,  masyarakat bermental instan ingin kaya dan gampang marah, serta aparat negara bertindak brutal dan radikal.
Disorientasi nilai terjadi hampir di berbagai aspek kehidupan. Publik terlampau sering melihat kemunafikan pemimpin yang tidak memiliki integritas. Panggung politik selalu gaduh. Satu per satu politisi tersangkut kasus korupsi, seperti kasus proyek Hambalang, kuota impor daging sapi, dan pengadaan Al Quran. Di tambah lagi aparat penegak hukum juga sudah terjerat dalam lingkaran korup dan suap seperti kasus Akil Mukhtar sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Djoko Susilo  sebagan Mantan Kepala Korp Lalu Lintas Polri, Setyabudi Tejocahyono sebagai Mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung, Asmadinata sebagai mantan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Pragsono sebagai mantan Hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Sistoyo sebagai mantan Kepala Subbagian Pembinaan Kejari Cibinong, Iwan Siswanto sebagai mantan Kepala Rumah Tahanan Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok, dan Lilil Sri Haryanto sebagai Direktur Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum semua ini adalah aparat penegak hukum yang terjerat hukum.
Ditambah lagi konflik sosial yang mudah meletus. Masyarakat bermental instan untuk mendapatkan hasil cepat hingga terjebak investasi bodong. Bertambah runyam karena aparat negara yang seharusnya menciptakan kedamaian dan stabilitas justru menciptakan keonaran seperti dalam kasus penyerangan terhadap Markas Kepolisian Resor Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
Pada saat yang sama, para pemimpin bangsa dinilai lemah dan tak sungguh-sungguh melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tanpa keteladanan elite politik dan para pemimpin, bangsa ini cenderung mengalami anomi, yaitu kehilangan pegangan terhadap nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.
Disorientasi nilai terjadi hampir di berbagai aspek kehidupan. Publik terlampau sering melihat kemunafikan pemimpin yang tidak memiliki integritas sehingga sebagian masyarakat juga mengambil jalan menerabas, mencari jalan mudahnya, dan tidak lagi percaya pada hukum.
Kemunafikan menunjukkan lemahnya integritas pemimpin tersebut. Ketika pemimpin meminta elite politik tidak gaduh, tetapi pada saat sama justru gaduh dengan kemelut internal di partai politik.
Bangsa Indonesia sekarang ini sudah ”KACAU BALAU” akibat sudah terlalu banyak “penyakit” yang sudah kronis menyerang seluruh sendi kehidupan. Moral dan etika sudah tumpul, bahkan rusak, sedangkan nilai-nilai kebaikan, moral, budaya liar kian meng-gila.
Salah satu akar masalahnya adalah kepemimpinan yang lemah dan tidak mampu memberikan keteladan. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dipegang lagi, sementara elite politik semakin pragmatis dan transaksional.

Semangat Sumpah Pemuda Pemersatu Membangun Bangsa. 

Peringatan hari Sumpah Pemuda Indonesia yang selalu kita laksanakan setiap tanggal 28 Oktober tiap tahunnya, peristiwa bersejarah yang dilakukan oleh para pemuda Indonesia pada waktu itu, senantiasa menjadi pelajaran berharga serta memberikan hikmah untuk kita jadikan pedoman pemikiran, pijakan dan barometer bagi kita, generasi bangsa yang hidup di era kemerdekaan ini untuk mengawal dan meneruskan cita-cita perjuangan mereka.
Setidaknya ada tiga hal penting yang dapat kita petik sebagai hikmah dari peringatan Sumpah Pemuda kali ini: Pertama, semangat heroisme dan patriotisme pemuda Indonesia saat itu muncul dari kesadaran historis bangsa Indonesia yang telah beratus-ratus tahun dijajah oleh kekuatan kolonialisme. Politik devide et impera atau politik pecah belah kaum kolonialisme dan imperalisme asing berhasil membuat kekuatan dalam tubuh bangsa kita tercerai berai. Perpecahan itulah yang akhirnya membuat kita lemah tak berdaya.  Kesadaran historis itu pulalah yang telah membentuk kesadaran situasi dan membentuk pikiran serta sikap kolektif pemuda-pemuda Indonesia untuk merumuskan kembali strategi perjuangan dan melakukan perlawanan secara lebih sistematis.  Dengan metode berpikir yang mereka gunakan, momentum Sumpah Pemuda Indonesia itu telah berhasil merumuskan strategi perjuangan baru bangsa Indonesia, dengan menggalang persatuan nasional melalui pernyataan kehendak dan tekad bersama untuk bersatu yakni berbangsa, berbahasa dan bertanah air satu: INDONESIA sebagai antitesis politiknya.
Kedua, pergerakan perjuangan pemuda Indonesia pada waktu mempunyai arah dan tujuan yang jelas yakni merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Mereka tidak terjebak pada persoalan-persoalan perbedaan agama, kesukuan, ras, kedaerahan dan golongan. Bagi mereka, kemerdekaan dan kemuliaan bangsa Indonesia adalah mission sacre yang harus menjadi tujuan bagi segenap gerakan pemikiran dan perjuangan pemuda Indonesia pada waktu itu. Semangat persatuan nasional yang mereka kobar-kobarkan itulah yang akhirnya menjadi roh, jiwa dan sekaligus menjadi  energi serta kekuatan bangsa Indonesia. Berkat persatuan dan kesatuan segenap kekuatan bangsa pada waktu, akhirnya kita mampu melawan dan mengusir penjajah asing dari bumi Indonesia.
Ketiga, hikmah berikutnya yang dapat kita petik dari peristiwa Sumpah Pemuda itu adalah semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi kepentingan bangsa yang lebih besar. Mereka tidak hanya mengorbankan harta benda yang mereka miliki, tetapi juga rela mengorbankan jiwa dan raga mereka. Kesadaran politik yang muncul dalam semangat perjuangan mereka, telah menjauhkan pikiran, sikap dan tindakan mereka dari kepentingan-kepentingan yang bersifat kepentingan golongan, kelompok apalagi individu.
Pertanyaan bagi kita semua saat ini adalah, apakah masih relevan kita selalu memperingati hari Sumpah Pemuda ini dan di manakah letak relevansinya bagi kita semua khususnya generasi muda bangsa Indonesia? Bagi saya jawabannya adalah sangat relevan. Faktor relevansinya terletak pada tantangan jaman yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini secara susbtansial sesungguhnya memiliki kesamaan dengan tantangan yang dihadapi oleh pemuda-pemuda Indonesia angkatan 1928. Faktor diferensiasinya hanyalah terletak pada konteks dan jamannya saja.
Untuk mengurai jawaban dan pernyataan tersebut, saya ingin mengutip pidato Bung Karno yang beliau sampaikan di depan sidang pengadilan Belanda tahun 1930 yang terkenal dengan pidato ”Indonesia Menggugat”. Jauh-jauh hari, bahkan ketika itu masih dalam suasana penjajahan kolonial, Bung Karno sudah mengingatkan kepada kita semua bahwa suatu saat nanti akan datang penjajahan dalam bentuk baru atau yang beliau sebut dengan neokolonialisme dan neoimperialisme. Istilah itu digunakan Bung Karno untuk memprediksi perkembangan dunia di masa yang akan datang. Bung Karno lebih jauh menjelaskan bahwa neokolonialisme dan neoimperilaisme itu adalah penjajahan dalam bentuk baru yang bukan dengan cara menguasai atau menduduki suatu bangsa secara langsung seperti terjadi di masa lampau. Ciri-ciri dari praktek neokolonialisme-imperialisme itu antara lain dengan menjadikan tanah jajahan sebagai sumber bahan baku bagi industrinya, menjadikan rakyat jajahan sebagai sumber tenaga kerja yang murah, dan menjadikan tanah jajahan sebagai tempat penanaman modal, serta pasar bagi produk industri kapitalismenya.
Apakah pernyataan dan prediksi Bung Karno di tahun 1930 itu hari ini terbukti relevan atau tidak? Apakah kita juga sudah memiliki kesadaran historis untuk membangun persepsi yang sama terhadap faktor-faktor yang menjadi ancaman bangsa Indonesia saat ini dan apakah kita juga masih memiliki semangat patriotisme dan nasionalisme serta sikap rela berkorban yang pernah diajarkan oleh para pendahulu kita sebagaimana yang telah saya uraikan di atas? Untuk memberikan penjelasan atas hal itu saya akan mencoba mendeskripsikan situasi dan kondisi kekinian bangsa Indonesia.
Era reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 lalu telah banyak menimbulkan perubahan yang sangat signifikan dan fundamental dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kita. Pada era ini, berbagai pengamat sosial politik sering mengatakan sebagai kemenangan kaum neoliberal dalam mempengaruhi dan bahkan ikut membentuk berbagai kebijakan negara melalui berbagai pembentukan peraturan perundang-undangan.
Proses masuknya faham neoliberalisme itu dimulai dari perubahan pada tingkat UUD 1945 yang telah dilakukan melalui proses amandemen sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Perubahan UUD 1945 itu telah berdampak luas pada perubahan sistem politik, ekonomi dan hukum. Berbagai perubahan di bidang ketatanegaraan itu akhirnya juga berdampak kepada sistem dan perilaku sosial masyarakat Indonesia.
Di Bidang Politik: sistem demokrasi yang kita jalankan saat ini sudah semakin jauh mengikuti ajaran atau nilai-nilai demokrasi liberal yang bercirikan atas politik pencitraan, kalkulasi jumlah suara dan pendekatan menang dan kalah (the winner take all). Hal itu sesungguhnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi Pancasila yang mengedepankan prinsip musyawarah untuk mufakat dan saling bergotong royong.
Di Bidang Ekonomi: berbagai regulasi yang mengatur sendi-sendi kehidupan ekonomi bangsa yang seharusnya diusahakan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat Indonesia  telah bergeser dan banyak yang berorientasi kepada kepentingan kapital atau kaum pemilik modal. Kekayaan bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Indonesia yang seharusnya dikuasai dan dikelola negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sekarang ini telah diserahkan kepada mekanisme pasar yang mengutamakan perhitungan untung dan rugi bagi kaum pemilik modal.
Di Bidang Hukum: pembangunan hukum Nasional kita melalui pembentukan peraturan perundang-undangan sudah semakin jauh meninggalkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Banyaknya undang-undang yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi membuktikan banyaknya produk undang-undang yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Di Bidang Kebudayaan: masuknya berbagai nilai-nilai asing, baik yang datang dari barat maupun dari timur dalam arus deras globalisasi telah menggerus sebagian nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia. Semangat toleransi dan gotong royong yang menjadi ciri keaslian budaya bangsa Indonesia selama ini, akhir-akhir ini mengalami krisis yang semakin parah. Konflik-konflik sosial terbuka, baik yang bersifat horisontal atau yang terjadi antar sesama kelompok dan golongan di tengah masyarakat, sampai konflik terbuka yang bersifat vertikal atau antara sesama lembaga negara kini sudah menjadi tontonan rutin setiap hari segenap rakyat Indonesia melalui berbagai media massa.
Secara horisontal,  konflik antar kelompok yang berbeda agama dan keyakinan di berbagai daerah di Indonesia serta tawuran antar pelajar sekolah adalah salah satu contoh soal yang paling banyak mewarnai hari-hari konflik masyarakat Indonesia saat ini. Sementara secara vertikal, konflik terbuka dan semangat adu kekuatan antara Polri dan KPK telah terjadi berulang-ulang di antara sesama lembaga penegak hukum.
Ketiga contoh permasalahan bangsa yang saya gambarkan secara singkat di atas, baik yang menyangkut aspek politik, ekonomi maupun kebudayaan, jikalau kita kaji dalam dimensi ideologis, maka akan kita dapati suatu kenyataan, bahwa hal itu merupakan manifestasi dari bahaya dan ancaman neololonialisme dan neoliberalisme yang dimaksudkan Bung Karno pada tahun 1930 lampau.  
Saat ini memang tidak ada kekuatan militer asing yang datang dan menduduki wilayah teritorial Indonesia. Tidak ada pula pangkalan-pangkalan militer asing yang berdiri di wilayah NKRI. Namun, melalui berbagai agen-agen kekuatan neokolonialisme dan neoimperialIsme di Indonesia, mereka berhasil masuk dan mempengaruhi berbagai kebijakan peraturan perundang-undangan kita. Tidaklah mengherankan jika saat ini banyak peraturan perundang-undangan kita yang telah bercorak liberal karena banyak berpihak kepada kepentingan ekonomi global atau kaum pemilik modal yang merugikan kepentingan ekonomi rakyat Indonesia sendiri.
Di sisi lain, situasi dan kondisi perpecahan antar kekuatan-kekuatan bangsa Indonesia yang terjadi di masa pra kemerdekaan dahulu sebagai akibat politik devide et impera yang dipraktekkan oleh rejim kolonialisme pada waktu itu, juga terjadi pada situasi dan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini. Berbagai konflik dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat kita akhir-akhir, baik yang berlatar belakang perbedaan agama dan keyakinan, perbedaan kepentingan politik maupun konflik kepentingan ekonomi, semuanya akan berdampak sangat jelas yakni menggoyahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa. Pecahnya persatuan nasional bangsa Indonesia itu pada gilirannya akan melemahkan posisi bangsa Indonesia dihadapan kekuatan neokolonialisme dan neoimperialisme yang telah diramalkan oleh Bung Karno.
Kalau kita mau dan berani jujur terhadap sejarah, sebenarnya Bung Karno bukan hanya telah memprediksi situasi dan kondisi ancaman masa depan yang akan menimpa nasib bangsanya pada tahun 1930 itu. Tetapi beliau juga telah menyiapkan konsepsi-konsepsinya untuk menghadapi ancaman dan bahaya neokolonialisme dan neoimperialisme itu.  
Oleh karena itu, beliau telah menyampaikan konsepsinya itu dalam pidatonya, pada peringatan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1964 di Istana Negara. Bung Karno telah menawarkan satu konsepsi untuk melawan bahaya neokolonialisme dan neoimperialisme itu. Konsepsi itu yang saat ini kita  kenal dengan ajaran TRISAKTI Bung Karno, yaitu kita harus berdaulat di bidang politik, kita harus berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri dalam membangun kekuatan ekonomi bangsa dan kita juga harus mengembangkan kebudayaan nasional yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia sendiri.
Berangkat dari perspektif pemikiran dan deskripsi situasi dan kondisi kekinian itulah, saya menilai momentum memperingati Sumpah Pemuda ini mempunyai makna yang sangat penting dan strategis. Sebagai sebuah bangsa yang besar, kita harus jadikan momentum ini sebagai sarana instropeksi dan retrospeksi diri sekaligus untuk dapat memproyeksikan agenda penyelamatan masa depan bangsa dan negara Indonesia ke arah yang lebih baik lagi.
Semangat patriotisme, nasionalisme dan kesadaran serta pemahaman akan tantangan yang dihadapi bangsa saat ini serta strategi problem solving-nya tidak boleh menurun apalagi kalah dari apa yang telah ditunjukan oleh generasi muda bangsa angkatan 1928 lalu. Kita tidak boleh keliru mempersepsikan tantangan nyata yang dihadapi bangsa kita hari ini. Kita juga tidak boleh lagi terjebak oleh berbagai upaya provokasi politik adu domba yang dijalankan oleh siapapun yang akan memecah belah persaudaraan kebangsan kita dan akan menggoyahkan persatuan nasional kita.
Tujuan perjuangan yang kita laksanakan pada bidang pengabdian kita masing-masing juga haruslah kita letakan pada upaya mencapai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 dan bukan untuk tujuan-tujuan lainnya.
Kita harus punya komitmen yang kuat untuk memperkukuh kembali rasa dan semangat persaudaraan kebangsaan kita di atas prinsip-prinsip empat pilar kehidupan berbangsa yang telah menjadi konsensus nasional bangsa Indonesia. Prinsip-prinsip itu adalah nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD NRI 1945 sebagai konsitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara yang final dan harus kita jaga keutuhannya serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai sistem sosial dan semboyan bangsa Indonesia.  
Presiden Pertama RI, Bung Karno pada saat peringatan hari kemerderkaan Republik Indonesia 17 Agustus 1966 di Istana Negara. Bung Karno mengatakan dan mengingatkan kita semua agar ”jangan sekali-kali kita meninggalkan sejarah”. 
Marilah kita jadikan pesan Bung Karno kepada kita semua itu sebagai pedoman dalam mengisi alam kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para Pendiri Bangsa kita. Tidak ada bangsa yang besar yang tidak bertumpu pada kebesaran sejarah bangsanya masing-masing. Marilah, kita semua generasi muda bangsa, mau dan bersedia menjadi perkakasnya sejarah, untuk membangun peradaban bangsa dan dunia yang lebih baik lagi demi masa depan anak cucu kita dikemudian hari.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.