Pragmatisme Politik - Menistakan Politik
Diajari Oleh Poltisi
Kecenderungan perubahan pola pikir masyarakat pemilih dari idealis ke pragmatis seperti fenomena yang terjadi dalam pilkada dan pemilu, disinyalir karena reaksi atas kenyataan yang terjadi. Kasus korupsi yang menjerat sejumlah wakil rakyat dan kepala daerah selama ini, baik ditingkat pusat, provinsi maupun ditingkat kabupaten, mengubah pola pikir masyarakat bahwa jabatan wakil rakyat itu diperebutkan untuk meraih kekayaan.
Masyarakat sudah paham betul, setelah jabatan ditangan, jaji tinggal janji dan slogan-slogan manis pun menguap tanpa bekas sejak hari pertama. Nama da kepentigan rakyat diperalat demi kepentingan sendiri, parpol dan cukong yang mengongkosi. Tidak cukup, jabatan, kekuasaan dan pengaruh pun diperalat untuk secepat mungkin baik modal, tambah kekayaan dan memupuk modal, korupsi,kolusi, manipulasi, rekayasa proyek dan sejenisnyapun mengisi berita harian. Itulah fakta barat mendorong mobil mogok. Ketika mobil berhasil hidup, orang yang mendorong mobil pun ditinggalkan dan dberi asap. Seperti itulah nasib rakyat selama ini.
Ditambah lagi, seiring ketatnya persaingan berebut kursi, masayraat dipikat dengan berbagai iming-iming, bantuan bahkan uan. Masyarakat akhirnya merasa, suaranya memiliki "harga" dan bsa dijual.
Masyarakat merasa tidak mendapat manffat yang semestrinya dari para politisi. Masyarakat juga merasa selama ini hanya diperalat, dijadikan obyek dan komoditas politik, bahkan alat tawar demi mendapat "harga" tinggi. Maka ketika ada kesempatan, sebagian masyarakat pun menjadikan suaranya yang ber-"harga"untuk mendapat manfaat. Siapa pun yang datang memberikan uang akan diterima, tanpa peduli siapa sebenarnya yang didukung. Ungkapannya "kapan lagi mendapatkan uang dari para politisi kalau tdakpada momen pemilu?".
Pragmatisme Politik Berbahaya
Pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Krteria kebenaran dalam paham pragmatisme adalah seberapa besar "faedah" atau "manfaat". Suatu ide dianggap benar apabila membawa suatu hasil, dengan kata lain ,suatu teori adalah benar if t works .
Pragmatisme tolok ukurnya adalah asas manfaat,sejauh mana manfaat yang bisa dip[eroleh. Jadi yag baku dalam pragmatisme adalah manfaat. Jika ide, gagasan, kosep, sikap, atau sesuatu tidak bisa memberika manfaat atau hanya memberikan manfaat kecil maka buat apa dipertahankan, meski hal itu bersfat ideologis da idealis.
Faktanya, manfaat itu dalam padangan manusia bersifat subyektif, bergantung pada individu dan kelompoknya. Manfaat itu juga bersifat situasional, bisa berubah sesuai situasi dan kondisi. Apa yang saat ini dipandang manfaat dan diambil, lain waktu tidak lagi dinilai manfaat dan ditnggalkan. Pragmatisme itu pada akhirnya berujng pada sikap machiavelis, menghalalkan segala cara -the end justifies the menas- Pragmatsme itu melahrkan sikap plin-plan dan membentuk manusia hipokrit.
Disadur dari Buletin Dakwah Al-Islam edisi 697 14 Maret 2014
Tidak ada komentar: