Untuk Kita Renungkan

Renungan ini dihadirkan atas dorongan iman dan tanggungjawab kepada Islam, umat Nabi Muhammad Saw dan Allah SWT. Sebab agama Islam ini adalah nasihat. Rasulullah Saw bersabda :
"Agama Islam itu nasihat." Kami bertanya,"Untuk siapa ya Rasulullah?" Beliau Saw menjawab, "Untuk Allah, Kitab-Nya,Rasul-Nya,Para pemimpin kaum Muslim, dan mereka semuanya (kaum Muslim)."
(H.R Muslim dari Tamin ad-Dari)

Baru saja rakyat negeri Muslim terbesar di dunia ini menyaksikan perhelatan pemilu legislatif. Tiga bulan lalu ke depan akan kembali menyaksikan pemilu presiden. Dalam pandangan Isam, pemilu adalah salah satu, bukan satu-satunya cara (uslub) yang bisa digunakan untuk memilih para wakil rakyat yang duduk di majelis perwakilan, atau untuk memilih penguasa. Sebagai salah satu cara, dalam pandangan Islam, tentu saja pemilu ini tidak wajib. 

Ini tentu berbeda dengan cara pandang demokrasi, yang menjadikan pemilu sebagai satu-satunya cara legal untuk memperoleh mandat kekuasan, baik eksekutif maupun legislatif. Karenanya, pemilu dalam demokrasi meruapakan keharusan dan sifatnya wajib. Tanpanya, kekuasaan legislatif, eksekutif bahkan yudikatif bisa dinyatakan ilegal, karena diperoleh bukan dari mandat rakyat. Meski realitanya, pandangan ini terbantahkan oleh berbagai fakta silih bergantinya kekuasaan, baik dinegeri ini atau dinegeri lain.

Terlepas dari pebedaan cara pandang itu, yang pasti keterlibatan atau ketidakterlibatan kita didalam pemilu yang baru saja dilangsungkan atau pada pemilu mendatang sama-sama harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah. Sebab, tidak ada tindakan kita sekecil apapun, kecuali pasti deketahui dan dicatat oleh Allah.

Lebih dahsyat lagi, yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, bukan hanya badan kita, tetapi seluruh oragn yang melekat dibadan kita. Masing-masing anggota tubuh kita akan dimintai pertangungjawaban oleh Allah.

Untuk itu, Allah SWT telah menurunkan syariah untuk mengatur kehidupan kita. Maka, diterima atau tidaknya pertanggungjawaban kita ditentukan oleh sesuai atau tidak dengan syariat-Nya, Jika sesuai akan diterima, dan jika tidak akan ditolak.

Meski hukum asal pemilu itu sebagai uslub adalah mubah, tetapi untuk apa uslub itu digunakan penting untuk diperhatikan. Dalam pemilu legislatif, uslub ini digunakan untuk memilih wakil rakyat yang bertugas untuk membuat UU, melantik presidan, dan melakukan check dan balance terhadap kekuasaan yang lain. Sedangkan dalam pemilu presiden, atau pilkada ,uslub ini digunakan untuk memilih orang yang akan memimpin rakyat.

Memilih wakil rakyat untuk melakuakn tugas dan fungsi check and balance, atau musahabah li al-hukkam, menguasai penguasa, tentu boleh. Namun, memilih wakil rakyat unuk melakukan tugas membuat UU tentu tidak boleh. Mekanisme pembuatan UU di parlemen bukan mekanisme yang  dibenarkan oleh Islam. Karena, UU yang lahir dari parlemen pastilah UU yang tidak lahir dan terpancar dari akidah Islam. Kalaulah ada yang diambil dari Islam, proses pengampilannya bukan didasarkan pada pertimbangan dalil ,atau karena perintah wahyu; melainkan karena hasil kesepakatan wakil rakyat (manusia) atau berdasarkan suara terbanyak. UU inilah yang kemudian dijalankan oleh presiden dan kepada daerah dibawahnya.

Karena itu, memilih wakil untuk melantik presiden dan kepala daerah dibawahnya untuk menjalankan UU seperti ini tentu tidak dibenarkan. Karena, sama saja dengan memberikan mandat kepadanya untuk melakukan maksiat kepada Allah SWT. Ini tentu tidak boleh. Hukum yang sama juga berlaku dalam pemilu presiden atau pilkada, dimana pemilu ini digunakan untuk memilih orang yang akan memimpin rakyat, namun bukan dengan Islam, melainkan dengan UU positif buata manusia.

Maka, sungguh mengherankan, ketika ada yang memfatwakan wajibnya memilih pemimpin, tanpa melihat pemimpin seperti apa, dan bagaimana dia  memimpin rakyatnya. Juga sama mengherankan, ketika ada yang mengherankan, ketika ada yang mengatakan, jika umat Islam tidak memilih, maka negeri mayoritas Muslim ini akan dikuasai oleh orang non-Muslim, orang kafir. Sebab, masalahnya bukan sampainya orang Islam disana. Apa artinya , jika seorang Muslim berkuasa, tetapi tidak untuk Islam dan tidak untuk menerapkan hukam Islam ? Maka, dia tak ubahnya dengan orang non-Muslim yang berkuasa. Karena, sama-sama tidak menerapkan Islam. 

Terima kasih telah membaca ,semoga bermanfaat ... Salam Sejahtera rakan ..

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.