Kedai kopi di Aceh nyaris tak ada bedanya dengan peranan bar di kota-kota industri Eropa. Setidaknya, begitulah jika dilihat dari peran dan fungsinya dalam kehidupan warga kota. Bar dan kedai kopi sama-sama tempat warga kota bersosialisasi. Hal yang membedakan tentu saja sajian minumannya. Di bar, orang bisa memesan kopi, tapi di kedai kopi Aceh jangan harap orang bisa memesan minuman beralkohol.
Kedai kopi di Aceh umumnya hanya menyediakan kopi (hitam), sanger  (kopi bercampur susu kental manis), teh, teh tarik, dan jus aneka buah. Selain itu, aneka penganan kecil juga tersedia. Kita bisa menyantap roti tawar yang telah diisi dengan selai samahani, selai khas Aceh yang konon  terbuat dari campuran ubi jalar, gula aren, serta madu. Roti selai ini bisa ditemui sepanjang waktu di kedai kopi.

Mereka yang ingin segera "bertemu" dengan nasi pada pagi hari, juga bisa menyambar "nasi perang", yakni sebungkus nasi yang diperkaya dengan cita rasa sambal khas Aceh. Di kedai kopi juga bisa ditemukan kue-kue lain seperti pisang goreng, ketan srikaya, atau kue srikaya. Menu utama yang lain adalah kehangatan gelak tawa tempat kongko-kongko.

Kedai kopi di Serambi Mekah memang lebih pas disebut sebagai tempat bersosialisasi ketimbang sekadar tempat makan dan minum. Di Aceh, orang biasa duduk berjam-jam sembari mengobrol di kedai kopi. Biasanya, mereka duduk berkelompok mengitari meja-meja. Satu meja dikelilingi empat hingga lima kursi.

Jika Anda mau sedikit usil dan berusaha menguping pembicaraan mereka, wow, ternyata banyak juga pembicaraan serius di kedai. Di sebuah meja, empat pria terdengar sedang bernegosiasi jual-beli mobil. Di sebelahnya, lima orang berbincang tentang penyusunan rencana program tahunan di instansi tempat mereka bekerja. Di meja yang lain, tiga orang yang sepertinya mahasiswa sedang memanfaatkan jaringan Wi-Fi yang disediakan kedai kopi untuk berselancar di dunia maya dengan notebook.

Kendati sesekali terdengar gelak tawa, sangat jelas bahwa mereka tengah berdiskusi masalah serius tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan. Entah pembicaraan tentang apa lagi yang berlangsung di meja-meja lain karena tak mungkin menguping pembicaraan di semua meja.

Entah disadari atau tidak, direncanakan atau terjadi secara kebetulan, hampir semua kedai kopi ini menemukan segmen pasarnya masing-masing. Ada kedai yang pengunjungnya didominasi kalangan pejabat dan para profesional, ada lagi yang lebih banyak dikunjungi mahasiswa dan pedagang, ada pula yang sebagian besar pengunjungnya merupakan penyuka kopi yang ingin mendapatkan sajian kopi dengan rasa istimewa.
    
Andalkan Kopi Gayo

Kendati sama-sama istimewa, rasa kopi di masing-masing kedai memang berbeda. Satu dan lain hal karena mereka punya formula sendiri tentang komposisi campuran kopi arabika dan robusta. Tapi, hampir semua kedai kopi mengaku menggunakan kopi dari Gayo sebagai bahan dasar.

Kopi Gayo, yang sebagian besar adalah kopi arabika, memang sudah lama diakui sebagai kopi berkarakter rasa yang kuat. Kopi Gayo menghadirkan kafein berkadar tinggi hingga rasa pahitnya menyengat. Kendati berjenis arabika, kopi Gayo tak terlalu asam. Inilah yang membuat kopi Gayo banyak memikat pecandu kopi dari berbagai negara.

Syahrizal, seorang pemandu wisata, mengatakan tamu-tamu asing yang dia antar ke kedai kopi selalu menyebut kopi Aceh sebagai salah satu kopi terbaik di dunia. "Kata mereka, kopi dengan rasa seperti ini bisa dijual setara Rp100 ribu/cangkir di Jepang," ucap sarjana matematika asal Meulaboh yang kini menggeluti bisnis pariwisata itu.

Di Banda Aceh, kopi sekelas itu bisa didapat dengan kisaran harga Rp3.000 hingga Rp5.000 per cangkir. "Di sini, harga segelas kopi hanya Rp3.000. Pokoknya, dengan uang Rp5.000, orang bisa minum kopi dan makan dua kue," kata Mulyadi, pengelola Dhapukupi, salah satu kedai kopi ternama di Jalan Surabaya, Banda Aceh.

Di Dhapukupi, kopi hitam dan teh tarik adalah minuman termurah. Sementara yang termahal adalah sanger yang dijual seharga Rp 6.000 per gelas. Di kedai kopi Solong, yang terletak di kawasan Ulee Kareng, kopi hitam dan teh tarik dihargai Rp5.000 per gelas, sedangkan teh telur dan sanger dijual Rp 8.000.

Mulyadi tak bersedia mengatakan berapa besar uang yang mengalir ke laci kasir kedai kopi yang dia kelola Yang pasti, dari pagi hingga pagi lagi, Dhapukupi yang menyediakan sekitar 450 kursi ini tak pernah sepi pengunjung. Setiap harinya, tak kurang dari 50 kilogram kopi dihabiskan. Kedai kopi Solong yang ada di Ulee Kareng juga selalu ramai. Pengelola kedai Solong bahkan mengaku mampu menghabiskan 300 kilogram kopi setiap hari. Memang, tak semuanya diracik menjadi minuman.

Para wisatawan umumnya membeli kopi dalam bentuk bubuk dari kedai ini untuk dibawa pulang. Bubuk kopi yang dijual di Solong agak kasar gilingannya. Tapi di Dhapukupi, orang bisa memilih kopi bubuk halus yang bisa langsung diseduh, ataupun bubuk kopi kasar untuk direbus dan kemudian disaring.

Tetapi, pembeli kopi bubuk tak boleh kecewa jika sesampai di rumah tak berhasil mendapatkan cita rasa yang sama dengan kopi yang disediakan di kedai-kedai kopi. Harap maklum, rahasia cita rasa kopi Aceh tak hanya lahir dari kopi yang mereka gunakan. Sedap dan tidaknya kopi juga sangat tergantung pada kepiawaian tukang saring yang bekerja di dapur. "Mereka itu nyawa kedai kopi kami," kata Mulyadi.

Sang tukang saringlah yang menentukan berapa panas air, berapa kali diaduk, berapa kali disaring, dan sebagainya. Mereka, kendati mungkin tak sedahsyat atraksi bottle juggling yang biasa dimainkan para bartender di bar, kerap menunjukkan atraksi menyaring kopi dan membikin teh tarik yang sedap dilihat. Kesemuanya itu berpengaruh pada cita rasa kopi yang mereka buat.