Pemilihan Umum Untuk Perubahan ,Ibarat Menggantang Asap

Dalam catatan sejarah, setidaknya negeri ini sudah sebelas kali menggelar Pemilu. Pada masa Orde Lama digelar sekali Pemilu, yakni tahun 1955 diikuti 172 parpol.Selam Orde Baru digelar enam kali pemilu yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Menggantang Asap
Setelah melalui sebelas kali Pemilu dan enam orang Presiden berganti, nyatanya harapan tinggal harapan, perbaikan dan perubahan yang dijanjikan tak kunjung datang. Belasan kali pemilu sudah dilaksanakan, kesejahteraan masyarakatmasih sebatas angan-angan. Wakil rakyat datang silih berganti, setiap kali itu pula rakyat hanya dijadikan komoditi. Berkali-kali kepemimpinan dirotasi, sebanyak itu pula rakyat  menelan kekecewaan dan merugi.

Parlemen dan penguasa hasil pemilu selama ini membuat harapan dan cita-cita umat terasa makin jauh dari kenyataan. Dari Parlemen dan penguasa pilihan rakyat itu lahir banyak peraturan perundangan yang justru merugikan rakyat. Melalui mereka juga kepentingan asing masuk. Merekalah pelaku korupsi yang paling ganas dinegeri ini. Mereka pula yang telah menjual aset berharga milik negara dan rakyat. Bukankah mereka yang telah menjual Indosat dan BUMN-BUMN lainnya, menjual murah bank-bank yang diselamatkan dengan ratusan triliun uang rakyat, dan lainnya. Bukankah mereka yang memberikan kontrak kepada Freeport, Newmont, dan swasta asing lainnya untuk menjarah tambang yang sejatinya adalah milik rakyat. Bukankah penguasa pilihan  takyat hasil pemilu jugalah yang menyerahkan blok kaya minyak kepada Exxon Mobil, blok kaya Migas kepada Total ,serta menyerahkan dan memperpanjang kontrak BP untuk mengeruk gas Tangguh. Benar, mereka semua adalah Parlemen dan Penguasa hasil Pemilu.

Parlemen dan penguasa hasil pemilu nyatanya telah menghasilkan berbagai UU yang merugikan rakyat dan membuka pintu masuk bagi untuk menguasai kekayaan negeri ini. Hasilnya, kini dominasi asing makin kuat mencengkeram sektor-sektor strategis.

Bukan Jalan Peubahan Hakiki
Pemilu nyatanya tidak memberikan perbaikan dan perubahan yang hakiki. Pemilu yang terjadi hanya memberikan pergantian rezim, sementara sistemnya tetap tidak berubah. Sebab pemilu dimanapun memang didesian hanya untuk rotasi dan pergantian orang atau rezim, bukan untuk peubahan sistem dan ideologi.

Sistem politik yang mahal membuat kekuatan uanglah yang dominan. Jadilah negara makin kental bercorak korporatokrasi. Persekongkolan penguasa-penguasa pun makin menjadi-jadi.

Jelas dari apa yang terjadi, tidak ada perubahan mendasar yang terjadi meski pemilu sudah sebelas kali. Indonesia masih menganut sistem demokrasi sekular yang menihilkan peran agama di ranah publik. Pemilu juga ternyata hanya menjadi alatuntuk memperpanjang usia demokrasi sambil rakyat dikibuli lima tahun sekali.

Jadilah negeri ini seperti sekarang ini. Tak ada yang namanya kepentingan rakyat. Yang ada hanyalah kepentingan elite politik dan para kapitalis.Sistem politik masih demokrasi sekular, sementara sistem ekonomi masih kapitalistik. Fakta yang terjadi saat ini hanyalah pergantian orang dari generasi ke generasi; hanya peralihan dari rezim yang satu ke rezim yang lain.

Sejarah panjang bangsa ini seharusnya menjadi pelajaran buat kita, bahwa tidak cukup sekedar mengganti rezim. Berbagai masalah tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengganti rezim. Sebelas kali pemilu berlangsung, enam kali presiden berganti, tidak ada yang berubah dari negeri ini. Bahkan negeri ini makin terpuruk hampir disemua ini.

Semua ini akibat terus mempertahankan sistem sekuler demokrasi kapitalisme seraya berpaling dari sistem Ilahi yang dibawa oleh Nabi saw. Allah pun sudah mengingatkan hal iru jauh-jauh hari.

Sekian dan selamat membaca

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.